Rabu, 14 Agustus 2013

Bersikap ‘Iffah’ – lah terhadap Syahwat Perut dan Kemaluan


syahwatBetapa banyaknya manusia yang tergelincir ke lembah kehinaan, akibat tidak dapat menjaga nafsu perut dan kemaluan. Mereka menjadi budak perut dan kemaluannya. Mereka dikatakan sebagai binatang ternak oleh al-Qur’an, karena hidupnya hanyalah mengikuti hawa nafsu yang bersumber dari perut dan kemaluannya.
Manusia yang sabar dan dapat menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan disebut dengan iffah. Manusia yang memiliki iffah, dan sabar atas segala bentuk syahwat, terutama yang berasal dari syahwat perut dan kemaluan akan menjadi manusia yang memiliki iffah yang tinggi, sehingga Allah akan selalu menjaganya, dan diselamatkan dari segala kehinaan di dunia dan akhirat.
Manusia yang sudah menjadi budak syahwat perut dan kemaluan itu, dia akan kehilangan rasa malunya, dan tidak lagi sensitif terhadap perbuatannya, serta membiarkan dirinya bergelimangan dengan dosa. Rasa iffah menjadi sirna dan pupus, tak ada lagi yang tersisa dalam dirinya. Kebaikan yang tersisa di dalam dirinya punah seketika, dan selalu bangga dengan dosa dan kedurhakaannya yang dilakukannya terhadap Allah Azza Wa Jalla. Semuanya itu merupakan buah dari sifatnya yang sudah dikendalikan oleh syahwat perut dan kemaluan.
Manusia yang sudah dikendalikan hawa nafsunya akan selalu berkeluh kesah, yaitu dengan meperturutkan hawa hafsunya, dan terkadang dengan melepaskan amarahnya dengan suara yang tinggi. Ini repleksi dari amarah dan nafsu yang sudah tidak terkendeali lagi oleh orang-orang yang sudah dikendalikan hawa nafsunya. Terkadang berbuat melanggar batas-batas yang sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala, dan berbuat dengan kianat, serta membabi buta, dan kehilangan kontrol atas dirinya.
Dalam kehidupan yang paling berat bagi manusia, terutama yang dibutuhkan kesabaran, saat manusia itu dalam kondisi kecukupan secara materi. Manusia yang tercukupi secara materi sangat berat mengendalikan hawa nafsunya. Karena yang sering terjadi ialah manusia yang tercukupi secara materi dengan sangat mudah ditundukan oleh syahwat perut dan kemaluan. Orang-orang yang secara materi kecukupan akan selalu terdorong melalukan perbuatan maksiat. Menjadi lupa diri. Banyaknya materi yang dimiliki itu, sering membuat orang menjadi tidak sabar. Kemudian terjungkal ke dalam perbuatan yang durhaka kepada Allah.
Kekayaan yang dimiliki digunakan untuk memenuhi syahwat perut dan kemaluan. Akal dan lamunan terus mengerogoti jiwanya yang kosong, dan menyebabkannya berangan-angan panjang, terutama untuk memenuhi syahwat perut dan kemaluannya. Karena itu, orang-orang yang tercukupi secara materi itu, berubah manjadi manusia yang sombong (al bathr), dan tidak mau lagi mengingat Allah, yang telah memberikan kenikmatan kepadanya berupa rezeki yang banyak. Tetapi, rezeki yang diterimanya itu, justru menciptakan bala’ (malapetak) dan musibah bagi dirinya dan kehidupan.
Orang-orang yang dapat sabar dengan segala bentukan kenikmatan dunia, serta harta dan aksesoris dunia disebut dengan zuhud. Artinya, dia tidak bergeser sedikitpun keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, atas segala bentuk kenikmatan dunia, dan tidak dapat terpengaruh terhadap segala iming-iming kenikmatan dunia, dan memilih lebih menjaga dirinya dengan penuh waspada, sehingga dia memilih kehidupan akhirat, tanpa sedikitpun terpengaruh kehidupan dunia.
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar. Karena itu, ketika pada suatu hari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, ditanya tentang iman, beliau menjawab, “Iman adalah sabar”, sebab kesabaran merupapakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak da paling penting. Sebagaimana Rasulullah shallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Hajji adalah Arafah”.
Allah telah menghimpun semua bagian dalam bab sabar, yang merupakan pokok dalam keimanan. Dan yang paling penting lagi lagi bersikap iffah, dan tidak terperosok ke dalam perbuatan yagn menimbulkan akibat rusaknya iman.
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“… Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 177)
Musibah bukan hanya menghadapi bencana dan penderitaan dalam peperangan, tetapi musibah bisa terjadi dalam diri manusia, ketika manusia sudah diliputi kenikmatan dunia, dan kemudian dikendalikan oleh syahwat perut dan kemaluannya, dan manusia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya diantara perut dan kemaluannya, maka manusia terjerumus ke dalam bentuk kehidupan binatang, dan tanpa akal serta malu. Wallahu’alam. (Ms/Red)

memahami makna Idul Fitri

Salah dalam memahami makna idul fitri

Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Hafizhahullaah
Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (Ramadhan 1412H) atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah “Kembali kepada Fitrah”, Yakni : Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita.
Penjelasan mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari jurusan lughoh/bahasa ataupun Syara’/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi -meskipun umat tertipu- karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi kami untuk menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya Allahu Ta’ala.
Kami berkata :
Pertama
“Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz Fithru/ Ifthaar” artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya “Hari Raya berbuka Puasa”. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan “Fitrah” tulisannya sebagai berikut [Fa-Tha-Ra-] dan [Ta marbuthoh] bukan [Fa-Tha-Ra]“.
Kedua
“Adapun kesalahan mereka menurut Syara’ telah datang hadits yang menerangkan bahwa “Idul Fithri” itu ialah “Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa”.
“Artinya :Dari Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan”.
[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy 4/252 dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan semua sanadnya di kitab saya "Riyadlul Jannah" No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi]
Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :
“Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka”.
Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :
“Artinya : (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha pada hari kamu menyembelih hewan”.
Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:
“Artinya : Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan (Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan”.
Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I’ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri artinya ! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka.
Bukan artinya bukan “kembali kepada fithrah”, karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi : “Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci”. Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah dan lughoh/bahasa.
Adapun makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah pada hari kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adl-ha, maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin (berjama’ah), tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini (1412H/1992M).
Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :
“Artinya : Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama’ah dan bersama-sama orang banyak”.
Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di atas manhaj dan aqidah Salafush Shalih. Amin!
[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam - Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M; dari almanhaj]
 
 
 
Wassalam,
 

Semua dan Segalanya

karena sejatinya manusia hadir dunia saling berpasangan. Itulah yang Allah beritahukan kepada manusia melalui Al-Qur'an. Bahwa setiap in...