Manusia yang sabar dan dapat menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan disebut dengan iffah. Manusia yang memiliki iffah, dan sabar atas segala bentuk syahwat, terutama yang berasal dari syahwat perut dan kemaluan akan menjadi manusia yang memiliki iffah yang tinggi, sehingga Allah akan selalu menjaganya, dan diselamatkan dari segala kehinaan di dunia dan akhirat.
Manusia yang sudah menjadi budak syahwat perut dan kemaluan itu, dia akan kehilangan rasa malunya, dan tidak lagi sensitif terhadap perbuatannya, serta membiarkan dirinya bergelimangan dengan dosa. Rasa iffah menjadi sirna dan pupus, tak ada lagi yang tersisa dalam dirinya. Kebaikan yang tersisa di dalam dirinya punah seketika, dan selalu bangga dengan dosa dan kedurhakaannya yang dilakukannya terhadap Allah Azza Wa Jalla. Semuanya itu merupakan buah dari sifatnya yang sudah dikendalikan oleh syahwat perut dan kemaluan.
Manusia yang sudah dikendalikan hawa nafsunya akan selalu berkeluh kesah, yaitu dengan meperturutkan hawa hafsunya, dan terkadang dengan melepaskan amarahnya dengan suara yang tinggi. Ini repleksi dari amarah dan nafsu yang sudah tidak terkendeali lagi oleh orang-orang yang sudah dikendalikan hawa nafsunya. Terkadang berbuat melanggar batas-batas yang sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala, dan berbuat dengan kianat, serta membabi buta, dan kehilangan kontrol atas dirinya.
Dalam kehidupan yang paling berat bagi manusia, terutama yang dibutuhkan
kesabaran, saat manusia itu dalam kondisi kecukupan secara materi. Manusia yang
tercukupi secara materi sangat berat mengendalikan hawa nafsunya. Karena yang
sering terjadi ialah manusia yang tercukupi secara materi dengan sangat mudah
ditundukan oleh syahwat perut dan kemaluan. Orang-orang yang secara materi
kecukupan akan selalu terdorong melalukan perbuatan maksiat. Menjadi lupa diri.
Banyaknya materi yang dimiliki itu, sering membuat orang menjadi tidak sabar.
Kemudian terjungkal ke dalam perbuatan yang durhaka kepada Allah.
Kekayaan yang dimiliki digunakan untuk memenuhi syahwat perut dan kemaluan.
Akal dan lamunan terus mengerogoti jiwanya yang kosong, dan menyebabkannya
berangan-angan panjang, terutama untuk memenuhi syahwat perut dan kemaluannya.
Karena itu, orang-orang yang tercukupi secara materi itu, berubah manjadi
manusia yang sombong (al bathr), dan tidak mau lagi mengingat Allah, yang telah
memberikan kenikmatan kepadanya berupa rezeki yang banyak. Tetapi, rezeki yang
diterimanya itu, justru menciptakan bala’ (malapetak) dan musibah bagi dirinya
dan kehidupan.
Orang-orang yang dapat sabar dengan segala bentukan kenikmatan dunia, serta
harta dan aksesoris dunia disebut dengan zuhud. Artinya, dia tidak bergeser
sedikitpun keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, atas segala bentuk kenikmatan
dunia, dan tidak dapat terpengaruh terhadap segala iming-iming kenikmatan
dunia, dan memilih lebih menjaga dirinya dengan penuh waspada, sehingga dia
memilih kehidupan akhirat, tanpa sedikitpun terpengaruh kehidupan dunia.
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar. Karena itu, ketika pada
suatu hari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, ditanya tentang iman, beliau
menjawab, “Iman adalah sabar”, sebab kesabaran merupapakan pelaksanaan keimanan
yang paling banyak da paling penting. Sebagaimana Rasulullah shallahu alaihi wa
sallam pernah bersabda, “Hajji adalah Arafah”.
Allah telah menghimpun semua bagian dalam bab sabar, yang merupakan pokok
dalam keimanan. Dan yang paling penting lagi lagi bersikap iffah, dan tidak
terperosok ke dalam perbuatan yagn menimbulkan akibat rusaknya iman.
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ
أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“… Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam
peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 177)
Musibah bukan hanya menghadapi bencana dan penderitaan dalam peperangan,
tetapi musibah bisa terjadi dalam diri manusia, ketika manusia sudah diliputi
kenikmatan dunia, dan kemudian dikendalikan oleh syahwat perut dan kemaluannya,
dan manusia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya diantara perut dan
kemaluannya, maka manusia terjerumus ke dalam bentuk kehidupan binatang, dan
tanpa akal serta malu. Wallahu’alam. (Ms/Red)