Kamis, 23 Mei 2013

Memimpinlah dengan rendah hati

SETELAH diumumkan pengangkatannya menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyendiri di rumahnya. Tak ada orang yang menemui, dan beliau pun tak mau keluar menemui seorang pun. Dalam kesendiriannya itu beliau menghabiskan waktunya dengan banyak bertafakkur, berdzikir dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak disambutnya dengan pesta, tetapi justru dengan air mata kesedihan yang mendalam.
Sesudah genap tiga hari beliau pun keluar. Para pengawal di luar yang sudah lama menunggu siap menyambut kepada pemimpin yang baru. Saat para pengawal itu siaga memberi hormat, beliau malah mencegahnya.
“Kalian jangan memulai salam kepadaku, bahkan salam itu kwajiban saya kepada kalian.”  Inilah perintah pertama khalifah kepada pengawal- pengawalnya.
Kemudian, beliau menuju ke sebuah ruangan. Di sana tampaknya sudah banyak para pembesar dan tokoh berkumpul. Demi mendengar khalifah akan masuk, semua hadirin terdiam dan serentak bangkit berdiri memberi hormat. Apa kata beliau?
“Wahai sekalian manusia,” katanya, “Jika kalian berdiri saya pun berdiri, jika kalian duduk saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak berdiri di hadapan Rabbul Alamin.”
Itulah yang dikatakan pertama kali kepada rakyatnya. Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus demikian. Sebagaimana kata Rasul, pemimpin adalah pelayan ummatnya.
Namun ini menjadi suatu hal yang istimewa karena pemimpin saat itu maupun saat ini sudah seperti seorang raja. Dan sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi budaya yang demikian itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan. Namun beliau tidak serta merta meneruskan budaya yang sebenarnya menguntungkannya secara pribadi itu. Beliau menolak dihormati berlebihan. Beliau juga tidak mau hidup dalam kemewahan. Yang dipilihnya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaan sebagai pelayan ummat.
Buka Hati
Sebagai pemimpin besar bersikap rendah hati, sederhana dan melayani, tentu tidak mudah. Apalagi bila kesempatan bermewah-mewah itu memang terbuka di depan mata. Siapa sih yang tidak tergiur menikmati kemewahan dan kekuasaan? Di negeri kita ini, sebuah kedudukan dan jabatan menjadi rebutan. Dan bahkan banyak yang rela mati-matian berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk mendapatkannya. Dan setelah berhasil meraihnya, pertama kali yang dilakukan adalah pesta kemenangan. Dan kemudian segeralah digunakan aji mumpung. Bim salabimjadilah OKB (Orang Kaya Baru).
Gaya hidup dan pergaulannya sudah berbeda dari sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah yang menjadi impiannya.
Tetapi mari kita membuka hati ini. Dengan berbagai upaya dan gaya hidup mewah itu, apa sih sesungguhnya yang kita cari? Dengan mobil mewah, rumah megah, pakaian serba mahal, dari lubuk hati ini apa sih yang dirindukan? Mungkin terdetak dorongan;… hidup terhormat dan dimuliakan. Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah aneh kalau ada orang bercita- cita hidup terhina dan direndahkan. Tetapi benarkah kita dapat mencapai kemuliaan dan kehormatan itu dengan hidup berbungkus kemewahan? Coba sebutkan nama- nama orang yang menggetarkan hati karena kemuliaan dan kehormatan mereka. Cermati satu persatu.
Benarkah hati anda terkesan karena kemewahan mereka?
Mari kita bercermin kepada Umar bin Abdul Aziz. Kita tenangkan hati dan jernihkan pikiran sejenak. Andai beliau memilih cara hidup mewah dan bermain kekuasaan sebagaimana raja- raja yang lain, akankah memiliki nama harum seperti saat ini? Mungkin saja dengan kemewahan singgasana saat itu ia bisa membuat topeng kemuliaan itu di muka rakyatnya.
Tetapi berapa lama kemuliaan seperti itu bisa bertahan? Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum.
Terbuktilah bahwa kemuliaan yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka. Sungguh Allah tidak menyukai orang- orang sombong. Yang Dia perintahkankan adalah berlaku sederhana dan lembut dengan sesama.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.” (QS: Luqman: 18- 19)
Misi Mulia
Ya, memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan  memilih hidup melayani. Apalagi kalau kita terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani. Kalau sedang memegang kekuasaan yang dipikirkan adalah apa yang dapat saya ambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat saya berikan pada orang lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan. Seolah yang harus melakukan adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah misi mulia yang sebenarnya diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih; Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang berkenan memberi kehormatan pada manusia berperan serta menebarkan rahmat- Nya ke seluruh alam semesta.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS: Al Anbiya’: 107)
Dengan berbagi rahmat, tersebarlah belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan ini. Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berfikir bagaimana karyawannya sejahtera. Dan karyawan berfikir bagaimana ia bisa memberikan layanan terbaik melalui pekerjaannya.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang ayah yang kasih sayang kepada keluarga dan anaknya, akan mengantar pada suasana sakinah. Sehingga anak-anaknya pun termotivasi meneladaninya dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin.
Dan setiap kita pada hakekatnya adalah pemimpin.  Setiap kalian adalah pemimpin, begitu tutur baginda Rasul dalam satu kesempatan.
Bila setiap orang berfikir minta dilayani, yang terjadi justru krisis. Pemimpin minta dilayani staf-stafnya. Majikan memeras para karyawannya.
Petugas memepersulit rakyat. Orientasinya bukan rahmatan lil alamin tetapi keuntungan pribadi.
Kekayaan alam yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat malah dikuras habis untuk bermewah- mewah. Hutan digunduli akibatnya kerusakan dan banjir dimana- mana.
Malah rakyat yang menjadi korban. Akhirnya rakyat pun ikut- ikutan mengikuti para prilaku pemimpinnya; mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan belum bersyukur malah berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin. Bagaimana misi mulia itu bisa dilakukan dengan paradigma seperti itu?
Sungguh cara hidup seperti itu bukan kemuliaan yang akan kita raih, tetapi justru kehinaan. Bukankah itu yang saat ini banyak melanda kehidupan kita?
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang- orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi meraka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- hancurnya.” (QS: Al Isra’: 16)

Agar mampu rahmatan lil alamin, kita perlu mentransformasi diri. Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu harus diganti dengan kebeningan nurani. 
    
Sumber Inspirasi
Bayangkan kalau ada orang yang rendah hati, menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati anda menyukainya? Tidakkah Anda terkesan dengan keikhlasannya itu?
Orang yang demikian itu akan membahagiakan hati sesamanya. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau dia seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau  dia seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan bagaimana keberkahan rendah hati ini. Meski hanya dalam waktu dua tahun pemerintahannya, beliau membuat perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang sebelumnya buruk, sejak kepemimpinannya berubah drastis menjadi baik.
Demi melihat pemimpinnya rendah hati dan teramat jujur itu, ummat terinspirasi. Yang menjadi pembicaraan heboh di berbagai sudut kota, warung sampai pinggiran ladang di desa, masalah iman dan amal shalih. Mungkin seperti keadaan kemarin yang semua orang berbicara tentang sepak bola dunia.
Masyarakat giat bekerja dan sejahtera. Bahkan kemakmuran di masa pemerintahannya mencapai puncaknya.
Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima zakat.
Memberi dan memberi, itu yang menjadi paradigma mereka. Bukan meminta dan meminta.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri -negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kamai akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”(QS: Al A’raaf: 96)
Tidak hanya itu, suasana alam dan binatang digambarkan mendukung terhadap kemakmuran itu. Para gembala yang biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh srigala, saat itu kedua binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan di buka Allah bila manusia telah menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Atas prestasinya yang gemilang itu, tidak mengherankan jika beliau digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin ke lima setelah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Bukankah kemuliaan seperti itu yang kita rindukan?

ini jalanku:Come out of your comfortable zone


“…..Come out of your comfortable zone..” itulah kata-kata yang keluar dari perbincanganku dengan beberapa orang dalam sebuah acara di sebuah universitas ternama. Kata-kata itu keluar dengan lantang dan tegas. Ntah itu adalah suara hati nurani atau suara sumbang yang tertahan oleh lingkungan yang didomisili kehedonisan dunia.
Mahasiswa…seorang pelajar jenjang akhir. Memiliki banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa. Bukan berarti saat menjadi seorang siswa kita tidak melakukan apapun. Namun, lingkaran kontribusi memang terbuka lebar saat status kita adalah sebagai seorang mahasiswa. Namun, apalah arti sebuah status jika sejatinya itu hanya sebagai label formalitas kita saja. Kalau ternyata kita selalu berada dalam sebuah lingkaran kenyamanan yang membuat kita lupa dari sebuah esensi dari seorang mahasiswa.
James carter pernah menulis dalam sebuah bukunya “setiap orang memiliki hal yang sebenarnya bisa dikembangkan dan mungkin dilejitkan bagaikan roket yang meluncur. Namun, karena sebuah lingkungan yang menuntutnya untuk bersikap biasa-biasa saja. Maka selamanya dia akan menjadi seorang manusia robot”. Agaknya itu yang mungkin terjadi dalam kampusku ini. Edaran mataku tertuju oleh sebuah realita yang benar-benar membuatku penat. Memang bukan saatnya kita mengutuk kegelapan. Sudah saatnya kita menyalakan lilin harapan dan menerangi jalan yang ada.
Kurangnya perhatian seorang mahasiswa dengan gemerlapnya dunia yang mungkin melalaikan semua mimpi-mimpi yang tertulis terkatung saja dalam sebuah angan-angan indah, namun tidak ada ikhtiar dalam pencapaian kesana. Hmmmmmm..... memangnya kenapa sih kita harus keluar dari zona nyaman kita?? banyak sekali orang-orang yang bertanya demikian. Hmmm, begini... jika kita berada dalam sebuah kota. Atau suatu tempat yang membuatmu nyaman. Dan kamu berfikir ini adalah titik kenyamanan saya. Namun, niscaya mungkin itu bukanlah tempat anda untuk bernyaman ria. Ketika teman-teman anda sedang berusaha untuk mencapai impian yang ingin mereka capai. Seorang Billgates saja untuk bisa mengembangkan microsoftnya sampai di drop out dari kampusnya. Thomas alfa Edison saja dalam membuat bohlam lampu sampai mencoba 999 kali untuk bisa membuatnya. Melepaskan waktunya unutk terus eksperimen dan keluar dari zona kenyamanannya.
Kita banyak mengetahui berbagai macam orang yang keluar dari zona kenyamanannya. Terus, memangnya keluar dari zona nyaman itu yang bagaimana??. Keluar dari zona nyaman itu melakukan hal yangg tidak dilakukan oleh orang lain. Ketika orang lain sedang bermain kita mencoba untuk membaca literatur. Ketika orang-orang terenyuh dalam sebuah kesenangan dunia, kita berusaha untuk memanfaatkan waktu kita yang bermanfaat. Memang label orang aneh akan tertera pada diri kita. But, nope sejatinya tiap orang sudah ada yang mengatur garis takdirnya oleh Sang Maha Kuasa. Buat apa kita punya segudang potensi dan berbagai macam kemampuan yang lebih, malah kita pergunakan sia-sia. move on, guys. Take your dream. Don’t stay here without anything. Kita dikarunia tangan untuk bisa melakukan banyak hal. Kita memiliki kaki untuk terus melangkah, kita diberikan otak untuk terus berfikir dan menciptakan sebuah new breaktrough tapi, kita malah sia-siakan. Seperti quote dari teman-teman Green Force UNJ “BERGERAK ATAU TERGANTIKAN..!!!”

-Muhamad Afiff Galang Ristiantoro-
#MatahariUtara

Rabu, 15 Mei 2013

ini jalanku:EKSIS


Yah, disinilah saya berkembang. Memacu adrenalin dan mencoba untuk memadukan sebuah realita dengan teori yang ada. Terkadang letih selalu menghapiri bahkan malah nyangkut. Terkadang juga rasa kecewa menjadi sebuah tikaman kejam dari sebilah kata dari seseorang. Yah, aku masih sangat jelas mengingat perkataan tersebut yang sampai sekrang aku mash mencoba mencari jawabannya mengapa demikian. .
EKSIS adalah lembaga badan semi otonom yang berada dalam naungan FE UNNES. Ntah kenapa namanya EKSIS. Dicari kepanjangannya juga tidak ketemu. Sampai pda akhirnya dengan tingkat inisiatif yg tinggi dari setiap fungsionarisnya malah menjadikan EKSIS memiliki kepanjangan Ekonomi Rohis. Agak aneh juga sih ketika mendengar singkatan dengan kepanjangannya nggak singkron. Namun, apalah sebuah arti kalau itu malah membuat kita tidak bisa berkontribusi.
Hmmmmm...kira-kira aku sudah berada di EKSIS sekitar 3 tahun. Ntah ada berapa banyak agenda dan kejadian yang telah sya lewati di EKSIS. Yah, bersama dengan teman” garuda biro 2010 tentunya. Hhehehehhe. Aku masih sangat ingat sekali ketika awal masuk EKSIS saya berada di PP. Pengkaderan dan pembinaan. Dengar artinya aja udah merinding. Berarti nantinya kita menjadi leading gerakan pencerdasan fungsionaris EKSIS dan FE tentunya. Waktu itu kepala dept aku dipegang oleh mbak dian walid pend. Eko akuntansi 2008 dan sekdebnya mbak inah pend. Akuntansi 2009. sedangkan staffnya ada aku, febri, sahirin, dll. Agaknya aku lupa siapa aja punggawanya. Hehehehe.
Sejak itulah banyak hal yang dilalui. Dari yang namanya masak bareng yg akhrnya malah bikin makanan yg memaksa perut harus kompromi dengan WC. Maklum karena yang lebih pintar memaksa akhwatnya, dan bumbunya ikhwan yang meramu. Jadi wajar aja kalau perut jadi kompromi. Pokoknya ntah kenapa pada saat tahun awal saya di EKSIS sangat menarik dan berkesan.
Disana saya berkenalan dengan banyak teman-teman. Terutama teman-teman 2010 pastinya. Seperti malik, ardias, febry, ambar, azizah, dewis, yulista, rossi, hima, lia dll. Mereka semua adalah barisan yang nantinya akan menjdi motor penggerak seperti mbak dan mas-mas nya sekarang. Yah, itulah yang terbesit dalam benakku pada saat itu. Keinginan untuk bisa berkumpul bersama teman: EKSIS adalah saat dimana kita bisa mengetahui satu sama lain dan berusaha memberikan yang terbaik disana.
EKSIS telah banyak menjadikan aku bisa berfikir again n again to always remember Allah SWT. To remind untuk sholat, puasa dan lainnya. Pokoknya asik banget. Namun, ntah kenapa hal tersebut sudah mulai memudar. Tidak ada kedekatan satu sama lain. Yang ada malah saling serang dan saling menjatuhkan. Jika aku diberikan sebuah permintaan layaknya alladin. Mungkin hal yang ingin aku pinta adalah mengembalikan aku ke masa tahun pertama di EKSIS. Yah, tahun dimana aku bisa bersama dengan teman” 2010 dan teman” EKSIS. Anmun, apadaya kita harus bisa move on jika kita stuck ditempat malah membuat kita mnjadi seonggok daging hidup yang tidak berguna. Langkah kita masih panjang dan terjal untuk dilewati. Jika kita hanya berleha-leha saja. Maka jaman lah yang nantinya akan menggilas kita dengan berbagai macam sodoran dogma” baru dari luar. So, do something, everything what u need n wthat u can, don’t give up untill u die.. itulah kata” yang selalu terngiang ditelinga ini. . Masuk EKSIS, hmmmm, sepertinya menarik. Sedekat hati, sedekat Keluarga ,, 

Semua dan Segalanya

karena sejatinya manusia hadir dunia saling berpasangan. Itulah yang Allah beritahukan kepada manusia melalui Al-Qur'an. Bahwa setiap in...