Demokrasi otentik
adalah rakyat memilih pemimpinnya tanpa perwakilan. Menggunakan sejumlah
perangkat komunikasi, mengajukannya langsung kepada KPU. Tentu harus
jelas database penduduk, dikontrol setiap huruf dan angkanya,
sehingga tidak terjadi manipulasi dan overlapping.
Setiap warga negara
bebas mengajukan nama capres serta level-level pemimpin di bawahnya. Usah
menunggu lima tahun sekali. Kapan saja tinggal kirim. KPU yang
menentukan dateline suatu periode pemilihan. Kalau sudah matang
tradisi otentisitas pemilihan seperti ini, warga negara bisa kirim juga nama
pilihan menteri-menteri mereka. Bisa jadi muncul 100.000 capres, 1 juta
calon menteri, dan ranking I bisa saja kuotanya di bawah 20%. Dalam
kasus ini, dimungkinkan penyelenggaraan babak final dengan cara coblosan di
TPS. Kalau capres terpilih hanya didukung oleh jumlah yang tidak mencukupi
logika kepemimpinan nasional, itu berarti hati dan pikiran rakyat memang belum
siap atau tidak cocok dengan formula negara kesatuan.
Media massa
dipersilakan, dengan latar belakang peta modal dan rekayasa politik: bermain
dan menggiring opini ke publik siapa tokoh yang pantas dan yang tak layak.
Kalau hasilnya terbukti rakyat tidak memiliki filter dan independensi berpikir
tentang calon pemimpin: itu artinya rakyat belum siap bernegara. Parpol dan DPR
di mana? Kasus pilgub DKI menjelaskan bahwa rakyat memilih tidak berdasarkan
atau melalui logika aspirasi dan ideologi parpol. Dimensi parpol dan perwakilan
sudah tidak riil dalam kesadaran politik rakyat. Bahkan, ketika dulu rakyat
benar atau keliru mencoblos SBY, sebenarnya secara substansial itu bukan
peristiwa politik dan kenegaraan, meskipun secara "teater" memang
mereka berduyun-duyun ke TPS.
"Coblosan"
itu pekerjaan rutin lima tahun sekali. Itu toleransi budaya. Dipertimbangkan
tidak lebih serius dibandingkan ketika akan mandi atau masak untuk makan siang.
Apalagi kalau ada pembagian uang Rp 50.000: itu adalah peristiwa rezeki Rp
50.000. Tidak harus ada hubungan dengan kepentingan nasional, kedaulatan rakyat,
atau tanggung jawab kenegaraan.
Rakyat Indonesia
sangat mandiri. Kalau ada negara dan pemerintah, mereka menampungnya. Sabar
mengakomodasikan perilakunya, seburuk apa pun. Selebihnya, mereka cari nafkah
sendiri. Bikin putaran-putaran perekonomian sendiri. Rakyat menolong
perusahaan-perusahaan besar dengan menyiapkan warung-warung kecil untuk makan
karyawan mereka. Pertolongan terbesar rakyat Indonesia kepada negara dan
pemerintahnya adalah kesetiaan membayar pajak, tanpa menuntut pemenuhan kewajiban
negara dan pemerintah kepada mereka.
''Orang bijak bayar
pajak''. Tepat sekali. Kalau rakyat mengandalkan rasionalitas bernegara, mereka
pasti cenderung malas atau bahkan menolak bayar pajak. Dengan kadar pemenuhan
kewajiban negara dan pemerintah atas rakyat yang sangat minimal, hanya
kebijakan dan kearifan hati rakyat yang luar biasa yang memungkinkan mereka
ikhlas membayar pajak.
Parpol-parpol berhasil
menyelenggarakan retakan sosial, menyempurnakan pecah belah rakyat oleh
ketidakdewasaan beragama, makin meningkatnya jumlah aliran, mazhab, golongan,
geng, klub. Indonesia juga makin hangat oleh tawuran antarpelajar, mahasiswa,
kampung, suku. Tawuran beda-beda modusnya, formulanya, aneka ragam kualitasnya.
Ada tawuran fisik, tawuran kepentingan golongan, tawuran paham dan tafsir,
tawuran eksistensi, tawuran untuk saling menegasikan dan meniadakan yang
lain.
Yang tenang-tenang
hanya FPI. Mereka arif untuk mengambil jarak dari keributan masyarakat dan
substansi kebrutalan negara. Di usia tua sekarang ini, saya juga sedang
ditawari untuk masuk menjadi anggota FPI, Front Pemancing Indonesia.
Parpol-parpol pasti tidak tawuran dengan adu
celurit, tetapi nafsunya besar untuk saling memusnahkan. Bahkan bukan hanya
antarparpol, antarkelompok atau individu di dalam parpol pun diam-diam tawuran,
kalau perlu pakai santet. Lahir kutu-kutu loncat, bunglon, ''pagi tempe sore kedele''.
Bahkan islah dan tabayyun antara Nak Imin dan almarhum Paklik Dur
baru akan diselenggarakan kelak di antara gerbang surga dan neraka.
Andaikan parpol punya anggota pasti, bukan
konstituen, mungkin lebih sederhana masalahnya. Pemimpin yang terpilih langsung
diketahui dari siapa yang diajukan parpol yang anggotanya terbanyak, tak perlu
bikin "turnamen" lagi. Dananya bisa dipakai untuk penggandaan rel
kereta api di seluruh Jawa, pengadaan transportasi kereta api di pulau-pulau
lain, memperbanyak jalan tol, pelebaran jalan, UKM, atau langsung saja duit itu
dikendurikan untuk rakyat.
Tapi mana bisa. Kan,
harus ubah undang-undang. Sedangkan yang berhak ubah undang-undang justru
"terdakwa" utama dalam kasus penyakit kanker kenegaraan ini. Jadi,
sekarang rakyat berhadapan dengan pertanyaan: percaya atau tidak kepada
wakil-wakil mereka? Atau: rakyat perlu wakil atau tidak? Atau: hitung kembali
bagaimana menentukan wakil. Jawaban rakyat mungkin begini: ''Silakan saja.
Hidup kami tidak bergantung pada itu semua.''
Emha Ainun Nadjib, Budayawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar